Biker sejati mana yang tidak tahu Yamaha RX-King? Sampai hari ini "Si Raja Jalanan" masih seliweran dan tidak sedikit komunitas RX-King yang eksis dan punya anggota setia.
Tapi kalau biker di tanya tentang Yamaha RX-Special (RXS) atau RX-R atau YT-115 (apalagi Yamaha L2G, AS1 alias YAS1, LS3, RS100, DT100, RX-100 atau RX-125), kemungkinan jawabannya "motor apaan tuch"? Kagak pernah liat dijalanan bro!
Walaupun Yamaha RX-Special lahir sebelum RX-King, mungkin tidak banyak orang yang pernah menjajal si kakak kandung RX-King karena pamor dan penjualan-nya masih jauh di bawah adiknya. Ditambah lagi, mayoritas pemilik RXS adalah kaum bapak-bapak yang nggak doyan kebut-kebutan di jalan layaknya penunggang RX-King yang suka geber-geber motor dan nge-trek di cawang-tanjung priok-kemayoran (tapi nggak semua loh!).
Kebetulan waktu GL-Pro Neotech 1997 saya raib digondol maling, saya "terpaksa" membeli RX-Special 1997. Walaupun nggak sedikit rider yang bilang RXS motor culun / cupu, pada waktu itu kesan tampilan cukup keren karena body dibalut dengan warna hijau tua metalik.
Dan ternyata, model tersebut adalah edisi terakhir dari RXS karena Yamaha Motor Indonesia akhirnya memutuskan untuk stop produksi varian tersebut di tahun yang sama.
Layaknya karakter mesin 2-tak yang ganas, RXS tidak bisa di pandang sebelah mata, bahkan bagi para rider Tiger 2000 sekalipun. Selama masih ketemu trek lurus dan tidak menanjak, RXS nggak bakal minder melayani tantangan Tiger 2000, apalagi GL-Pro Neotech 1996-1997. Salah satu penyebabnya adalah berat RXS (94 Kg) yang relatif jauh lebih ringan dibandingkan Tiger 2000 (123 Kg).
Dalam kondisi full standard, kalau cuma mencapai 120 KM/jam, RXS nggak perlu di-gas poll! Sementara untuk mencapai 140 KM/jam atau lebih, perlu sedikit usaha mulai dari Gigi-3. Sebagai gambaran saja, dari perempatan Coca-Cola cawang menuju perempatan Kelapa Gading, RXS bisa mencapai 140 KM/jam dalam jarak 400-500m disepanjang jalan Perintis Kemerdekaan. RPM dan Kecepatan masih mau naik, tapi saya nggak tega mendengar raungan dan getaran mesin-nya, jadi terpaksa gas saya longgarkan.
Ya pastinya standard-nya masih jauh dibandingkan RX-King atau RXZ, tapi cukup lah untuk melayani motor-motor kopling 4-tak saat itu.
Perawatan RXS sangat sederhana dan murah meriah sama hal-nya dengan motor 2-tak lain. Cukup ganti busi dan Oli mesin secara teratur (3000-5000 KM), cek oli samping untuk memastikan tidak habis, bersihkan saringan udara, karburator, lidah membran (reed valve), kop/head, piston dan knalpot supaya tenaga tetap prima. Semua bisa dilakukan sendiri dalam waktu 1 jam, nggak harus ngantri lama di bengkel.
Mungkin beberapa mekanik/rider punya pendapat lain, tapi khusus oli mesin saya percayakan pada oli 10W/40 semi sintetik. Oli 20W/50 mungkin lebih baik untuk motor tahun lebih tua dimana kondisi kanvas kopling relatif lebih tipis karena faktor pemakaian; pemakaian oli 20W/50 menyebabkan mesin kurang loncer diputaran atas. Sementara oli 5W/30 (full sintetik) mungkin terlampau encer untuk standard motor harian.
Untuk oli samping, saya pakai Agip low-smoke, tapi karena harga-nya yang cukup menguras kantong, terpaksa saya beralih ke Mesran low-smoke. Ya pastinya ada perbedaan pada performa, tapi apa boleh buat karena Indonesia sedang dilanda krismon sekitar tahun 1997-1999, kantong cekak bro!
Walaupun tidak berpengaruh terhadap performa, saringan knalpot saya potong sedikit, biar suara-nya mirip RX-King, mantap!
Apa karena faktor iklan di media atau ngomongan orang, dulu saya selalu berpikir bahwa motor 2-tak kopling pasti boros banget. tapi kenyataannya tidak benar bro!
Konsumsi bensin RXS dan GL-Pro Neotech tidak ada perbedaan signifikan. Dalam kondisi di geber terus-menerus (dalam kota), RXS bisa menempuh 32 KM/liter sementara GL-Pro 35 KM/liter. Mohon diingat, jaman dulu kondisi jalan cukup lenggang / tidak semacet hari ini. Sementara dalam kondisi normal (luar kota), RXS dan GL-Pro Neotech bisa menempuh jarak 42 Km/liter.
Konsumsi oli samping pun tidak beda banyak dibandingkan Suzuki Sprinter 1989-1990 (RC100). 1 liter bisa untuk menempuh jarak 3500-4000 KM untuk kombinasi jalan dalam kota dan luar kota.
Salah satu hal yang saya kurang pede tentang RXS, yaitu tapak/kembang Ban Depan-Belakang, licin bro! Jangan coba-coba ngerebah pas waktu hujan kalau nggak mau jatoh. Saya sempet jatoh kepleset di tikungan Monas (dari arah Stasiun Gambir) karena ada sedikit pasir, padahal jalan kering total, kapok dah ngajak doi ngerebah!
Cuma pendapat pribadi, tapak RXS diperuntukkan untuk jalan kering. Kalau mau sip, bisa ganti dengan tapak NR65.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang RXS, doi saya ajak touring Jakarta-Bandung via Puncak-Cianjur non-stop.
Ternyata posisi duduk dan mengemudi sangat nyaman untuk touring, tidak kalah dengan RX-King / GL-Pro. Hanya saja tempat duduk / sadel tidak senyaman RX-King / GL-Pro; pantat sedikit pegel untuk touring selama 3,5 jam.
Untuk benar-benar nge-test, motor di gas-poll dari Jakarta lewat rute Parung-Semplak. Sampai di Kota Bogor ternyata tenaga doi mulai nge-drop dan mesin udah mulai aneh suara-nya padahal setelan oli samping sudah disesuaikan agar motor nggak cepat overheat. Weleh-weleh, masak kalah stamina sama Suzuki Sprinter. Yah maklumlah Si Sprinter kan dimodalin teknologi Jet-Cooled alias kipas mesin, jadi performa lebih stabil.
Pas sampai rute puncak, ketemu GL-Pro Neotech yang kebetulan gass-poll sampai kota Cimahi. Barulah ketahuan belang-nya RXS! Pas rute tanjakan, si RXS nggak sanggup ngelewatin tuh GL, cuman bisa nempel, tengsin dah! Pas rute jalan rata baru bisa ninggalin tuh GL.
Dan karena pengalaman jatoh pas ngerebah, saya nggak terlalu PD buat ajak si doi ngerebah, kan nggak lucu kepleset di Puncak! Mau ganti tapak ban, kantong cekak, ya apa boleh buat.
Sebenarnya RXS dimodali oleh konstruksi rangka dan suspensi yang cukup stabil mirip dengan RX-King. Hanya performa ban saja yang kurang mendukung. Mungkin sebagian pengguna RX-King juga pernah komplain tentang tapak/kembang RX-King yang relatif lebih licin di jalan basah (coba sharing penggalaman-nya bro!). Saya juga tidak yakin IRC masih memproduksi tapak/kembang segi 8 (diamond shape) untuk RX-King/RXS lawas.
Satu hal yang saya suka dari RXS adalah pengereman-nya yang mumpuni; rem depan-belakang lebih pakem dari GL-Pro Neotech waLaupun rem cakram hanya bermodal 1 piston (gede) dan tromol belakang relatif lebih kecil.
Walaupun tidak seterang GL-Pro Neotech, lampu depan / headlight RXS cukup untuk menerangi jalanan setelah magrib.
Kurang puas hanya sekali test, RXS saya test lagi dengan rute yang sama (Jakarta-Bandung). Hanya saja gas tidak di-bejek abis, hanya di-urut pelan-pelan dengan harapan tenaga tidak nge-drop pas sampai Bogor. Dan kebetulan saya mau test konsumsi BBM.
Kali ini hujan turun lumayan deras antara rute Bogor-Puncak-Cianjur. Kudu extra hati-hati karena masih pakai ban bawaan pabrik.
Pas sampai Puncak Pas, badan basah kuyup dan mengigil. Dan ternyata bukan cuma saya yang mengigil kedinginan, mesin RXS juga mengigil. Turunan Puncak Pas ditandai dengan mesin RXS yang brebet.
Waduh gawat bro, udah mesin brebet, engine brake mesin 2-tak tidak se-efektif mesin 4-tak. Sudah turun gigi sampai Gigi 1, si RXS masih bisa lari 60 KM/jam tanpa di-gas; kalau tiba-tiba mesin mati, bisa bahaya dalam kondisi turunan curam, jalan licin dan gelap. Terpaksa sesekali kopling di tarik dan mesin di geber agar tidak brebet.
Jujur, waktu itu sempat terlintas bahwa RXS kurang pas di bawa touring, terutama di medan pegunungan. GL-Pro masih pilihan yang terbaik saat itu.
Perjalanan ke Bandung saya lanjutkan dengan hati-hati karena saya tidak bisa mengharapkan banyak dari performa engine brake RXS. Cukup beresiko untuk melahap turunan curam dan tikungan dengan kecepatan tinggi karena kurangnya traksi ban; salah perhitungan, bisa-bisa terjun ke jurang. Pengereman mendadak pun bisa berujung fatal lantaran ban slip.
Pulang dari Bandung, cuaca sangat cerah; asik, bisa nge-test top speed di rute Citarum-Cirajang-Cianjur yang umumnya trek lurus!
Sekitar 5 KM dari Kota Cianjur, RXS stabil di 120 KM/jam sampai tiba-tiba...Mesin Diam! Tanpa banyak pikir, kopling langsung saya tarik. Yang pernah bawa 2-tak biasanya tahu kenapa...hehehe...
Ya benar sekali, oli samping habis dan piston ngunci (ceket kata orang). Inilah kenapa penting sekali cek indikator oli samping dan nge-cek tabung oli samping secara rutin. Ya salah saya, harusnya cek tabung oli samping di Bandung.
Motor terpaksa di dorong sampai pom-bensin Ciranjang. Sambil menunggu temperatur mesin turun, saya beli oli samping Mesran. Temperatur turun dan saya coba memercikan air sedikit demi sedikit untuk memastikan suhu mesin benar-benar dingin.
Keringat dingin mulai ngucur setelah mesin motor tidak berhasil di-starter ulang. Terpaksa saya telepon teman saya yang kebetulan bapaknya kerja di Cobra Express; Apa memungkinkan motor saya di bawa ke Jakarta dengan mobil box, tanya saya.
Syukurlah motor bisa hidup kembali, walaupun brebet. Tanpa banyak pikir motor langsung meluncur lewat rute Puncak yang padat merayap karena libur akhir pekan.
Setelah kasus "piston ngunci", mesin RXS sudah agak kasar dan tidak enak di bawa. Singkatnya, saya konsultasi ke mekanik langganan; kalau bisa sih cuma Oversize 25. Tapi si mekanik bilang lebih baik Oversize 50 untuk memastikan dinding silinder / liner halus.
Okelah kalau begitu; saya pikir dengan Oversize 50, mesin bisa kembali halus dan bertenaga.
Ternyata keputusan salah, bunyi mesin malah makin parah, tenaga pun tidak serta merta terdongkrak. Si mekanik cuma bisa menyalahkan tukang bubut yang tidak presisi dalam melakukan bore-up. Dinding liner tidak lurus / tegak alias miring / menyamping. Aneh, padahal saya bubut di tempat yang paling terkenal di kawasan spare-part motor Kebon Jeruk III di masa itu (tidak perlu sebut nama karena yang biasa korter motor pasti sudah tidak asing lagi dengan bengkel bubut tersebut).
Weleh-weleh, udah keluar dana lumayan karena pakai spare-parts Ori YGP, masalah tidak selesai, apes dah. Pelajaran berharga bagi yang mau korter mesin motor; cari bengkel bubut yang punya mesin yang presisi dan operator yang bener-bener pengalaman.
Karena masih doyan tour luar kota, dengan sangat terpaksa saya memutuskan untuk menjual Yamaha RX-Special generasi terakhir itu di tahun 2001.
Sayang juga sih, karena udah lumayan banyak kenangannya. Dari masa krismon 1997, kerusuhan 1998, selesai-in skripsi, dapet pacar baru (ciieee...) dan kerjaan baru, sama masa-masa sulit dilewati bersama.
Pilihan kembali ke motor 4-tak kopling. Salah satu alasan-nya adalah ada isu yang mengatakan bahwa motor 2-tak tidak boleh lagi seliweran dijalanan ibukota. Dan yang utama adalah motor 4-tak kopling lebih cocok dibawa touring di Indonesia, terutama untuk medan pegunungan.
Akhirnya Honda Megapro 2001 jadi istri baru yang siap tour keliling.
Gimana bro? Pernah test-ride Yamaha RX-Special? Yuk, sharing cerita!
Tapi kalau biker di tanya tentang Yamaha RX-Special (RXS) atau RX-R atau YT-115 (apalagi Yamaha L2G, AS1 alias YAS1, LS3, RS100, DT100, RX-100 atau RX-125), kemungkinan jawabannya "motor apaan tuch"? Kagak pernah liat dijalanan bro!
Walaupun Yamaha RX-Special lahir sebelum RX-King, mungkin tidak banyak orang yang pernah menjajal si kakak kandung RX-King karena pamor dan penjualan-nya masih jauh di bawah adiknya. Ditambah lagi, mayoritas pemilik RXS adalah kaum bapak-bapak yang nggak doyan kebut-kebutan di jalan layaknya penunggang RX-King yang suka geber-geber motor dan nge-trek di cawang-tanjung priok-kemayoran (tapi nggak semua loh!).
Kebetulan waktu GL-Pro Neotech 1997 saya raib digondol maling, saya "terpaksa" membeli RX-Special 1997. Walaupun nggak sedikit rider yang bilang RXS motor culun / cupu, pada waktu itu kesan tampilan cukup keren karena body dibalut dengan warna hijau tua metalik.
Dan ternyata, model tersebut adalah edisi terakhir dari RXS karena Yamaha Motor Indonesia akhirnya memutuskan untuk stop produksi varian tersebut di tahun yang sama.
Layaknya karakter mesin 2-tak yang ganas, RXS tidak bisa di pandang sebelah mata, bahkan bagi para rider Tiger 2000 sekalipun. Selama masih ketemu trek lurus dan tidak menanjak, RXS nggak bakal minder melayani tantangan Tiger 2000, apalagi GL-Pro Neotech 1996-1997. Salah satu penyebabnya adalah berat RXS (94 Kg) yang relatif jauh lebih ringan dibandingkan Tiger 2000 (123 Kg).
Dalam kondisi full standard, kalau cuma mencapai 120 KM/jam, RXS nggak perlu di-gas poll! Sementara untuk mencapai 140 KM/jam atau lebih, perlu sedikit usaha mulai dari Gigi-3. Sebagai gambaran saja, dari perempatan Coca-Cola cawang menuju perempatan Kelapa Gading, RXS bisa mencapai 140 KM/jam dalam jarak 400-500m disepanjang jalan Perintis Kemerdekaan. RPM dan Kecepatan masih mau naik, tapi saya nggak tega mendengar raungan dan getaran mesin-nya, jadi terpaksa gas saya longgarkan.
Ya pastinya standard-nya masih jauh dibandingkan RX-King atau RXZ, tapi cukup lah untuk melayani motor-motor kopling 4-tak saat itu.
Perawatan RXS sangat sederhana dan murah meriah sama hal-nya dengan motor 2-tak lain. Cukup ganti busi dan Oli mesin secara teratur (3000-5000 KM), cek oli samping untuk memastikan tidak habis, bersihkan saringan udara, karburator, lidah membran (reed valve), kop/head, piston dan knalpot supaya tenaga tetap prima. Semua bisa dilakukan sendiri dalam waktu 1 jam, nggak harus ngantri lama di bengkel.
Mungkin beberapa mekanik/rider punya pendapat lain, tapi khusus oli mesin saya percayakan pada oli 10W/40 semi sintetik. Oli 20W/50 mungkin lebih baik untuk motor tahun lebih tua dimana kondisi kanvas kopling relatif lebih tipis karena faktor pemakaian; pemakaian oli 20W/50 menyebabkan mesin kurang loncer diputaran atas. Sementara oli 5W/30 (full sintetik) mungkin terlampau encer untuk standard motor harian.
Untuk oli samping, saya pakai Agip low-smoke, tapi karena harga-nya yang cukup menguras kantong, terpaksa saya beralih ke Mesran low-smoke. Ya pastinya ada perbedaan pada performa, tapi apa boleh buat karena Indonesia sedang dilanda krismon sekitar tahun 1997-1999, kantong cekak bro!
Walaupun tidak berpengaruh terhadap performa, saringan knalpot saya potong sedikit, biar suara-nya mirip RX-King, mantap!
Apa karena faktor iklan di media atau ngomongan orang, dulu saya selalu berpikir bahwa motor 2-tak kopling pasti boros banget. tapi kenyataannya tidak benar bro!
Konsumsi bensin RXS dan GL-Pro Neotech tidak ada perbedaan signifikan. Dalam kondisi di geber terus-menerus (dalam kota), RXS bisa menempuh 32 KM/liter sementara GL-Pro 35 KM/liter. Mohon diingat, jaman dulu kondisi jalan cukup lenggang / tidak semacet hari ini. Sementara dalam kondisi normal (luar kota), RXS dan GL-Pro Neotech bisa menempuh jarak 42 Km/liter.
Konsumsi oli samping pun tidak beda banyak dibandingkan Suzuki Sprinter 1989-1990 (RC100). 1 liter bisa untuk menempuh jarak 3500-4000 KM untuk kombinasi jalan dalam kota dan luar kota.
Salah satu hal yang saya kurang pede tentang RXS, yaitu tapak/kembang Ban Depan-Belakang, licin bro! Jangan coba-coba ngerebah pas waktu hujan kalau nggak mau jatoh. Saya sempet jatoh kepleset di tikungan Monas (dari arah Stasiun Gambir) karena ada sedikit pasir, padahal jalan kering total, kapok dah ngajak doi ngerebah!
Cuma pendapat pribadi, tapak RXS diperuntukkan untuk jalan kering. Kalau mau sip, bisa ganti dengan tapak NR65.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang RXS, doi saya ajak touring Jakarta-Bandung via Puncak-Cianjur non-stop.
Ternyata posisi duduk dan mengemudi sangat nyaman untuk touring, tidak kalah dengan RX-King / GL-Pro. Hanya saja tempat duduk / sadel tidak senyaman RX-King / GL-Pro; pantat sedikit pegel untuk touring selama 3,5 jam.
Untuk benar-benar nge-test, motor di gas-poll dari Jakarta lewat rute Parung-Semplak. Sampai di Kota Bogor ternyata tenaga doi mulai nge-drop dan mesin udah mulai aneh suara-nya padahal setelan oli samping sudah disesuaikan agar motor nggak cepat overheat. Weleh-weleh, masak kalah stamina sama Suzuki Sprinter. Yah maklumlah Si Sprinter kan dimodalin teknologi Jet-Cooled alias kipas mesin, jadi performa lebih stabil.
Pas sampai rute puncak, ketemu GL-Pro Neotech yang kebetulan gass-poll sampai kota Cimahi. Barulah ketahuan belang-nya RXS! Pas rute tanjakan, si RXS nggak sanggup ngelewatin tuh GL, cuman bisa nempel, tengsin dah! Pas rute jalan rata baru bisa ninggalin tuh GL.
Dan karena pengalaman jatoh pas ngerebah, saya nggak terlalu PD buat ajak si doi ngerebah, kan nggak lucu kepleset di Puncak! Mau ganti tapak ban, kantong cekak, ya apa boleh buat.
Sebenarnya RXS dimodali oleh konstruksi rangka dan suspensi yang cukup stabil mirip dengan RX-King. Hanya performa ban saja yang kurang mendukung. Mungkin sebagian pengguna RX-King juga pernah komplain tentang tapak/kembang RX-King yang relatif lebih licin di jalan basah (coba sharing penggalaman-nya bro!). Saya juga tidak yakin IRC masih memproduksi tapak/kembang segi 8 (diamond shape) untuk RX-King/RXS lawas.
Satu hal yang saya suka dari RXS adalah pengereman-nya yang mumpuni; rem depan-belakang lebih pakem dari GL-Pro Neotech waLaupun rem cakram hanya bermodal 1 piston (gede) dan tromol belakang relatif lebih kecil.
Walaupun tidak seterang GL-Pro Neotech, lampu depan / headlight RXS cukup untuk menerangi jalanan setelah magrib.
Kurang puas hanya sekali test, RXS saya test lagi dengan rute yang sama (Jakarta-Bandung). Hanya saja gas tidak di-bejek abis, hanya di-urut pelan-pelan dengan harapan tenaga tidak nge-drop pas sampai Bogor. Dan kebetulan saya mau test konsumsi BBM.
Kali ini hujan turun lumayan deras antara rute Bogor-Puncak-Cianjur. Kudu extra hati-hati karena masih pakai ban bawaan pabrik.
Pas sampai Puncak Pas, badan basah kuyup dan mengigil. Dan ternyata bukan cuma saya yang mengigil kedinginan, mesin RXS juga mengigil. Turunan Puncak Pas ditandai dengan mesin RXS yang brebet.
Waduh gawat bro, udah mesin brebet, engine brake mesin 2-tak tidak se-efektif mesin 4-tak. Sudah turun gigi sampai Gigi 1, si RXS masih bisa lari 60 KM/jam tanpa di-gas; kalau tiba-tiba mesin mati, bisa bahaya dalam kondisi turunan curam, jalan licin dan gelap. Terpaksa sesekali kopling di tarik dan mesin di geber agar tidak brebet.
Jujur, waktu itu sempat terlintas bahwa RXS kurang pas di bawa touring, terutama di medan pegunungan. GL-Pro masih pilihan yang terbaik saat itu.
Perjalanan ke Bandung saya lanjutkan dengan hati-hati karena saya tidak bisa mengharapkan banyak dari performa engine brake RXS. Cukup beresiko untuk melahap turunan curam dan tikungan dengan kecepatan tinggi karena kurangnya traksi ban; salah perhitungan, bisa-bisa terjun ke jurang. Pengereman mendadak pun bisa berujung fatal lantaran ban slip.
Pulang dari Bandung, cuaca sangat cerah; asik, bisa nge-test top speed di rute Citarum-Cirajang-Cianjur yang umumnya trek lurus!
Sekitar 5 KM dari Kota Cianjur, RXS stabil di 120 KM/jam sampai tiba-tiba...Mesin Diam! Tanpa banyak pikir, kopling langsung saya tarik. Yang pernah bawa 2-tak biasanya tahu kenapa...hehehe...
Ya benar sekali, oli samping habis dan piston ngunci (ceket kata orang). Inilah kenapa penting sekali cek indikator oli samping dan nge-cek tabung oli samping secara rutin. Ya salah saya, harusnya cek tabung oli samping di Bandung.
Motor terpaksa di dorong sampai pom-bensin Ciranjang. Sambil menunggu temperatur mesin turun, saya beli oli samping Mesran. Temperatur turun dan saya coba memercikan air sedikit demi sedikit untuk memastikan suhu mesin benar-benar dingin.
Keringat dingin mulai ngucur setelah mesin motor tidak berhasil di-starter ulang. Terpaksa saya telepon teman saya yang kebetulan bapaknya kerja di Cobra Express; Apa memungkinkan motor saya di bawa ke Jakarta dengan mobil box, tanya saya.
Syukurlah motor bisa hidup kembali, walaupun brebet. Tanpa banyak pikir motor langsung meluncur lewat rute Puncak yang padat merayap karena libur akhir pekan.
Setelah kasus "piston ngunci", mesin RXS sudah agak kasar dan tidak enak di bawa. Singkatnya, saya konsultasi ke mekanik langganan; kalau bisa sih cuma Oversize 25. Tapi si mekanik bilang lebih baik Oversize 50 untuk memastikan dinding silinder / liner halus.
Okelah kalau begitu; saya pikir dengan Oversize 50, mesin bisa kembali halus dan bertenaga.
Ternyata keputusan salah, bunyi mesin malah makin parah, tenaga pun tidak serta merta terdongkrak. Si mekanik cuma bisa menyalahkan tukang bubut yang tidak presisi dalam melakukan bore-up. Dinding liner tidak lurus / tegak alias miring / menyamping. Aneh, padahal saya bubut di tempat yang paling terkenal di kawasan spare-part motor Kebon Jeruk III di masa itu (tidak perlu sebut nama karena yang biasa korter motor pasti sudah tidak asing lagi dengan bengkel bubut tersebut).
Weleh-weleh, udah keluar dana lumayan karena pakai spare-parts Ori YGP, masalah tidak selesai, apes dah. Pelajaran berharga bagi yang mau korter mesin motor; cari bengkel bubut yang punya mesin yang presisi dan operator yang bener-bener pengalaman.
Karena masih doyan tour luar kota, dengan sangat terpaksa saya memutuskan untuk menjual Yamaha RX-Special generasi terakhir itu di tahun 2001.
Sayang juga sih, karena udah lumayan banyak kenangannya. Dari masa krismon 1997, kerusuhan 1998, selesai-in skripsi, dapet pacar baru (ciieee...) dan kerjaan baru, sama masa-masa sulit dilewati bersama.
Pilihan kembali ke motor 4-tak kopling. Salah satu alasan-nya adalah ada isu yang mengatakan bahwa motor 2-tak tidak boleh lagi seliweran dijalanan ibukota. Dan yang utama adalah motor 4-tak kopling lebih cocok dibawa touring di Indonesia, terutama untuk medan pegunungan.
Akhirnya Honda Megapro 2001 jadi istri baru yang siap tour keliling.
Gimana bro? Pernah test-ride Yamaha RX-Special? Yuk, sharing cerita!
Wah sayang juga yah dijual
ReplyDeleteYa sayang banget, motor masih mulus terawat, hanya gara2 bengkel bubut korter miring, padahal bengkel bubut paling top di jaman-nya.
DeleteMantul
ReplyDeleteThank you Bro
DeleteThank mas brooo, smoga ceritanya manfaat dan jdi inspiratif tuk kita smua.
ReplyDeleteAMIN.
DeleteWah, seru sekali saya baca ceritanya. Saya sekarang ini lagi pakai RX-S Tahun 1981 (Lebih dikenal sebagai RXS Congo), mesin udah OS 50, gara gara pernah ngejim, kemudian dikorter ke OS 25. Ga lama setelah dinaikkan ke OS 25, mesinnya ngejim lagi, yaudah deh naik lagi ke OS 50, dan awet sampai sekarang (kurang lebih sudah 20 tahunan), hanya saja sekarang stang sehernya sudah kena, dibarengi karburatornya sudah pakai yg KW, alhasil mau lari 80 aja lambat banget naik RPM nya, itupun mentok di 6000 doang.
ReplyDeleteKemudian untuk konsumsi bahan bakar, apakah sampai sehemat itu? 32 km/L itu bahkan sampai saat ini masih irit sekali untuk motor 2-tak. Punya saya saja bahkan hanya 17-19 km/L, dengan kondisi stang seher oblak dan karburator KW. Apakah dengan mesin yang sehat, di zaman sekarang ini, konsumsi bahan bakarnya bisa lebih hemat lagi? Ga muluk muluk deh, 20 km/L ke atas aja udah syukur banget.
Maaf kalau terlalu panjang, dan terima kasih mas.
Wah mantap tuh pak, RXS angkatan lama sudah langka. Tetap di rawat ya pak.
ReplyDeleteKhusus korter mesin (semua jenis mesin motor / mobil), memang harus cari bengkel bubut yang punya mesin bagus dan operatornya pengalaman. Saya pun masih belajar untuk masalah toleransi clearance mulai dari 0.01mm s/d 0.03mm, semua aplikasinya beda tentunya.
Masalah stang seher yang sudah kena, jika memang punya dana, lebih baik secepatnya ganti sebelum merembet ke parts yang lain seperti bearing kruk as, piston / blok. Stang piston-nya murah, yang mahal mungkin di bongkar pasang mesin dan cari bengkel bubut yang presisi centre kruk-as-nya (habis di-center, jangan sampe kruk-as jatoh / kebanting ya pak, percuma sudah di-center).
Tentang karburator, mesin 2 tak memang sangat sensitif dengan supply BBM, jadi coba cari solusi karburator serta saluran intake-nya (termasuk klep harmonika-nya) dan exhaust-nya.
Tentang Konsumsi BBM, dari dulu saya punya persepsi yang salah besar tentang mesin 2 tak: "BOROS BANGET."
Ternyata persepsi itu salah besar, karena saya sudah buktikan sendiri di RXS.
Kalau mesin / karburator sehat, dan cara bawa-nya gas di-urut, 32KM / liter bukanlah omong kosong.
Toh, saya bandingkan antara konsumsi BBM Astrea Grand VS Suzuki Sprinter, sama aja.
Yang membedakan adalah:
Buat capai 110KM/JAM, Astrea Grand harus di-gas poll dari Gigi 1, sementara Suzuki Sprinter cukup di-urut gas-nya, tidak perlu sampai mesin getar satu bodi.
Yang pasti, 20KM/liter itu amat sangat boros, Bahkan untuk Motor sekelas RX-King dengan spesifikasi mesin standard.
Terkecuali RXS bapak sudah Oversize 200 atau mungkin lebih dan/atau buat setingan turun balap (harus di-ingat, walaupun untuk kebutuhan turun balap sekalipun, efisiensi mesin wajib diperhatikan, karena banyaknya BBM dalam tangki mempengaruhi bobot motor).
Jadi keinget YAMAHA Sunday Race di Sirkuit ANCOL jaman dulu kala.
Intinya. masalah karburator dan mesin harus segera dicarikan solusi-nya.
Terima kasih sudah mampir.