Habis jual Suzuki Sprinter 1989, terpaksa saya kembali naik-turun Metromini dan Mikrolet yang cukup menghabiskan banyak waktu diperjalanan.
Setahun berselang, akhirnya Ortu nggak tega juga, karena kesibukan di kampus bikin stamina banyak terkuras, belum lagi kalau harus bepergian untuk cari materi kuliah atau ke tempat teman untuk buat tugas kelompok.
Tidak seperti sekarang, tidak banyak pilihan motor baru di Indonesia antara Tahun 1996-1997;
Honda menawarkan varian Astrea Star, Astrea Grand, Win, GL-Max, GL-Pro, Tiger 2000 dan NSR 150.
Yamaha menawarkan varian Force-One, Crypton, RX-Special, RX-King, RXZ dan RZR.
Suzuki menawarkan varian RC100 Bravo, Tornado GX dan GS, Shogun Kebo, A100 dan RGR 150.
Dan Kawasaki mulai aktif lagi meramaikan dunia otomotif Indonesia dengan mengeluarkan Kaze/Kaze-R.
Sementara varian Honda GL100, Yamaha Alfa IIR dan Champ, Suzuki Crystal (apalagi Suzuki Sprinter) dan TRS Katana sudah stop produksi.
Waktu itu harga tertinggi masih dipegang oleh NSR diikuti oleh Suzuki RGR, Honda Tiger dan Yamaha RZR yang berada di atas 6 jutaan. GL-Pro dan RX-King berada dikisaran harga 5 jutaan. Sementara untuk kategori bebek, rata-rata di bawah 4 jutaan.
Bukan berniat untuk mengeneralisir, tapi salah satu pertimbangan utama sebagian masyarakat Indonesia membeli motor saat itu adalah berdasarkan harga jual kembali (resale value) yang tinggi; dan karena saat itu tidak banyak pilihan, umumnya pilihan jatuh pada merek Honda.
Sementara untuk para pecinta motor kenceng, umumnya pilihan jatuh pada RX-King / RGR / NSR. Pada kenyataan-nya, harga Yamaha RX-King dan Kawasaki Binter AR125 second masih dihargai tinggi sampai saat ini, terutama untuk yang masih mulus dan ori.
Karena saya mau cari motor 4 tak kopling yang pakai rem cakram, ya pilihan cuma GL-Max atau Gl-Pro yang selisih harga-nya tidak terpaut jauh. Keputusan akhir jatuh pada GL-Pro Neotech 1997, mantap!
Ternyata pilihan tidak salah! Torsi gede, nafas juga panjang, perawatan mudah dan murah karena spare parts relatif murah dan banyak dipasaran, bensin irit (rata2 35 KM/liter untuk dalam kota dan 42 KM/liter untuk luar kota), body ramping dan lebih ringan jika dibandingkan Honda Tiger 2000.
Masa inreyen / inrayen sering dihabiskan buat jalan-jalan Jakarta-Bogor via Parung PP sampai odometer menunjukkan angka 500 KM atau sebelum servis gratis pertama.
Saking sayang-nya sama tuh GL-Pro, gas di urut pelan-pelan biar mesin nggak teriak dan RPM stabil di bawah angka 10 ribu. Toh begitu, untuk sampai 100 KM/jam sangat mudah untuk GL-Pro.
Saking gatel-nya tour luar kota, habis service pertama, doi langsung di geber ke Bandung lewat rute puncak.
Beda biker mungkin beda pendapat, tapi menurut saya pribadi, motor baru bisa dikatakan enak dibawa kalau pernah test touring luar kota dengan medan tempur yang berbeda.
Posisi sadel dan stang GL-Pro sangat nyaman mirip dengan RX-King, sehingga berkendara selama 3-4 jam non-stop tidak cepat pegel. Beda dengan RGR dan NSR yang memang special di-design untuk balap/racing.
Rangka dan body cukup stabil ketika diterpa angin gunung / melewati rute Ciranjang-Padalarang. FYI, jaman dulu masih ada pintu tol Citarum dengan harga karcis Rp 100 untuk motor dan Rp 500 untuk mobil. Kestabilan juga ditunjang oleh suspensi depan-belakang yang mumpuni.
GL-Pro juga relatif stabil ketika ketemu lobang di jalan. Yah maklumlah, jaman dulu fasilitas penerangan jalan cukup minim alias gelap gulita. Dan Tol Padaleunyi belum ada, jadi banyak truk-truk besar yang lewat rute Parung dan Padalarang. Alhasil, lobang di jalan banyak dan ukurannya bisa segede baskom cucian.
Torsi bawah yang melimpah membuat GL-Pro gampang melahap tanjakan Puncak / Gunung Kapur tanpa harus membuat mesin teriak. Plus, si doi dengan mudahnya melewati mobil / truk2 gede.
Untuk mencapai 120 KM/jam tidak perlu gas poll dan tidak butuh waktu lama. Pengereman juga cukup mumpuni (walaupun belum se-pakem rem RX-King), keamanan terjamin.
Dan walaupun beberapa biker/mekanik menganggap engine-brake dapat cepat membuat aus komponen mesin; engine-brake sangat membantu menghadapi turunan curam, tikungan tajam dan pengereman mendadak tanpa mengurangi traksi ban di atas aspal - safety first bro!
Mesin GL-Pro yang notabene 4-tak dan feature kopling memungkinkan engine-brake yang efektif. Ya tapi semuanya kembali kepada gaya mengemudi tiap biker.
Lampu depan / headlight sangat terang untuk standard motor saat itu, touring malam hari jadi tenang. Kapasitas tanki cukup untuk menempuh jarak 200 KM dalam kondisi motor digeber non-stop. Kalau cuma Jakarta-Bandung sih, nggak butuh isi ulang bro!
Cuma ada satu kelemahan kecil GL-Pro; Tapak/kembang ban depan motif garis-garis dan ban belakang motif kotak-kotak (mirip Honda WIN / GL100). Alhasil, rasanya agak risih untuk nge-rebah ditikungan apalagi pada waktu jalan basah, dan ban belakang agak slip ketika rem mendadak. Saya rasa Astra Honda Motor (AHM) mencoba improve traksi ban dengan mengganti ban depan-belakang dengan Type NR65 pada motor Megapro generasi pertama (1999).
Secara keseluruhan, GL-Pro memang layak di beri gelar Luxury Sport. Nyaman, stabil, aman, irit, minim perawatan, model cakep, pokoknya puas dah.
Tapi yang namanya motor baru, apapun motornya, pastinya jadi incaran maling, terutama RX-King, Astrea Grand dan GL-Pro.
Cuma 3 bulan berselang, si GL-Pro raib dicolong maling di dekat Kampus Bina Nusantara II (sekarang sering di sebut Kampus BINUS Anggrek). Walau sudah di gembok disk-brake, namanya maling pastinya lebih pinter bro.
Seperti kisah disinetron, hati hancur berkeping-keping, cuma bisa meratapi motor yang hilang.
Beruntunglah si GL-Pro sudah saya asuransi TLO sebelumnya. Dan setelah proses yang panjang-lebar, lebih dari 6 bulan, akhirnya uang penggantian bisa turun walaupun hanya 4,5 juta (daripada nggak sama sekali!).
Yah, dengan sangat berat hati, saya terpaksa beli motor Yamaha RX-Special 1997 seharga 4,9 juta (nombok donk!), sesuai dengan budget.
Pernah test GL-Pro Neotech 1997? SHaring pengalaman-nya donk!
Setahun berselang, akhirnya Ortu nggak tega juga, karena kesibukan di kampus bikin stamina banyak terkuras, belum lagi kalau harus bepergian untuk cari materi kuliah atau ke tempat teman untuk buat tugas kelompok.
Tidak seperti sekarang, tidak banyak pilihan motor baru di Indonesia antara Tahun 1996-1997;
Honda menawarkan varian Astrea Star, Astrea Grand, Win, GL-Max, GL-Pro, Tiger 2000 dan NSR 150.
Yamaha menawarkan varian Force-One, Crypton, RX-Special, RX-King, RXZ dan RZR.
Suzuki menawarkan varian RC100 Bravo, Tornado GX dan GS, Shogun Kebo, A100 dan RGR 150.
Dan Kawasaki mulai aktif lagi meramaikan dunia otomotif Indonesia dengan mengeluarkan Kaze/Kaze-R.
Sementara varian Honda GL100, Yamaha Alfa IIR dan Champ, Suzuki Crystal (apalagi Suzuki Sprinter) dan TRS Katana sudah stop produksi.
Waktu itu harga tertinggi masih dipegang oleh NSR diikuti oleh Suzuki RGR, Honda Tiger dan Yamaha RZR yang berada di atas 6 jutaan. GL-Pro dan RX-King berada dikisaran harga 5 jutaan. Sementara untuk kategori bebek, rata-rata di bawah 4 jutaan.
Bukan berniat untuk mengeneralisir, tapi salah satu pertimbangan utama sebagian masyarakat Indonesia membeli motor saat itu adalah berdasarkan harga jual kembali (resale value) yang tinggi; dan karena saat itu tidak banyak pilihan, umumnya pilihan jatuh pada merek Honda.
Sementara untuk para pecinta motor kenceng, umumnya pilihan jatuh pada RX-King / RGR / NSR. Pada kenyataan-nya, harga Yamaha RX-King dan Kawasaki Binter AR125 second masih dihargai tinggi sampai saat ini, terutama untuk yang masih mulus dan ori.
Karena saya mau cari motor 4 tak kopling yang pakai rem cakram, ya pilihan cuma GL-Max atau Gl-Pro yang selisih harga-nya tidak terpaut jauh. Keputusan akhir jatuh pada GL-Pro Neotech 1997, mantap!
Ternyata pilihan tidak salah! Torsi gede, nafas juga panjang, perawatan mudah dan murah karena spare parts relatif murah dan banyak dipasaran, bensin irit (rata2 35 KM/liter untuk dalam kota dan 42 KM/liter untuk luar kota), body ramping dan lebih ringan jika dibandingkan Honda Tiger 2000.
Masa inreyen / inrayen sering dihabiskan buat jalan-jalan Jakarta-Bogor via Parung PP sampai odometer menunjukkan angka 500 KM atau sebelum servis gratis pertama.
Saking sayang-nya sama tuh GL-Pro, gas di urut pelan-pelan biar mesin nggak teriak dan RPM stabil di bawah angka 10 ribu. Toh begitu, untuk sampai 100 KM/jam sangat mudah untuk GL-Pro.
Saking gatel-nya tour luar kota, habis service pertama, doi langsung di geber ke Bandung lewat rute puncak.
Beda biker mungkin beda pendapat, tapi menurut saya pribadi, motor baru bisa dikatakan enak dibawa kalau pernah test touring luar kota dengan medan tempur yang berbeda.
Posisi sadel dan stang GL-Pro sangat nyaman mirip dengan RX-King, sehingga berkendara selama 3-4 jam non-stop tidak cepat pegel. Beda dengan RGR dan NSR yang memang special di-design untuk balap/racing.
Rangka dan body cukup stabil ketika diterpa angin gunung / melewati rute Ciranjang-Padalarang. FYI, jaman dulu masih ada pintu tol Citarum dengan harga karcis Rp 100 untuk motor dan Rp 500 untuk mobil. Kestabilan juga ditunjang oleh suspensi depan-belakang yang mumpuni.
GL-Pro juga relatif stabil ketika ketemu lobang di jalan. Yah maklumlah, jaman dulu fasilitas penerangan jalan cukup minim alias gelap gulita. Dan Tol Padaleunyi belum ada, jadi banyak truk-truk besar yang lewat rute Parung dan Padalarang. Alhasil, lobang di jalan banyak dan ukurannya bisa segede baskom cucian.
Torsi bawah yang melimpah membuat GL-Pro gampang melahap tanjakan Puncak / Gunung Kapur tanpa harus membuat mesin teriak. Plus, si doi dengan mudahnya melewati mobil / truk2 gede.
Untuk mencapai 120 KM/jam tidak perlu gas poll dan tidak butuh waktu lama. Pengereman juga cukup mumpuni (walaupun belum se-pakem rem RX-King), keamanan terjamin.
Dan walaupun beberapa biker/mekanik menganggap engine-brake dapat cepat membuat aus komponen mesin; engine-brake sangat membantu menghadapi turunan curam, tikungan tajam dan pengereman mendadak tanpa mengurangi traksi ban di atas aspal - safety first bro!
Mesin GL-Pro yang notabene 4-tak dan feature kopling memungkinkan engine-brake yang efektif. Ya tapi semuanya kembali kepada gaya mengemudi tiap biker.
Lampu depan / headlight sangat terang untuk standard motor saat itu, touring malam hari jadi tenang. Kapasitas tanki cukup untuk menempuh jarak 200 KM dalam kondisi motor digeber non-stop. Kalau cuma Jakarta-Bandung sih, nggak butuh isi ulang bro!
Cuma ada satu kelemahan kecil GL-Pro; Tapak/kembang ban depan motif garis-garis dan ban belakang motif kotak-kotak (mirip Honda WIN / GL100). Alhasil, rasanya agak risih untuk nge-rebah ditikungan apalagi pada waktu jalan basah, dan ban belakang agak slip ketika rem mendadak. Saya rasa Astra Honda Motor (AHM) mencoba improve traksi ban dengan mengganti ban depan-belakang dengan Type NR65 pada motor Megapro generasi pertama (1999).
Secara keseluruhan, GL-Pro memang layak di beri gelar Luxury Sport. Nyaman, stabil, aman, irit, minim perawatan, model cakep, pokoknya puas dah.
Tapi yang namanya motor baru, apapun motornya, pastinya jadi incaran maling, terutama RX-King, Astrea Grand dan GL-Pro.
Cuma 3 bulan berselang, si GL-Pro raib dicolong maling di dekat Kampus Bina Nusantara II (sekarang sering di sebut Kampus BINUS Anggrek). Walau sudah di gembok disk-brake, namanya maling pastinya lebih pinter bro.
Seperti kisah disinetron, hati hancur berkeping-keping, cuma bisa meratapi motor yang hilang.
Beruntunglah si GL-Pro sudah saya asuransi TLO sebelumnya. Dan setelah proses yang panjang-lebar, lebih dari 6 bulan, akhirnya uang penggantian bisa turun walaupun hanya 4,5 juta (daripada nggak sama sekali!).
Yah, dengan sangat berat hati, saya terpaksa beli motor Yamaha RX-Special 1997 seharga 4,9 juta (nombok donk!), sesuai dengan budget.
Pernah test GL-Pro Neotech 1997? SHaring pengalaman-nya donk!
Comments
Post a Comment