Skip to main content

Honda Astrea Grand 1991: si Pantat Monyet yang tangguh

Habis jual Yamaha RX-King 1989 gara-gara nabrak orang yang nyebrang di kolong jembatan Harco-Glodok, ortu yang marah besar akhirnya memutuskan untuk menjual si Raja Jalanan dan "menghadiahkan" kedua abang saya dengan Honda Astrea Grand 1991 alias si pantat monyet.


Agak janggal juga sih kedengarannya, karena harusnya ortu memberi hukuman dengan tidak memberikan motor lagi kepada mereka.

Honda Grand yang mungil nan imut tidak lepas dari sentuhan tangan abang saya yang doyan ngebut-ngebutan. Walau mesin tidak sempat di oversize / papas head, saluran intake (leher angsa) dan saluran buang dihaluskan. Beberapa experimen setelan klep juga dilakukan.

Pilot jet, main jet dan karburator disetting ulang sehingga tenaga bisa terdongkrak. Aplikasi oli encer 5W/30 atau 10W/40 cukup membantu kerja mesin diputaran atas. Dan sektor pengapian diperbaiki dengan penggunaan busi racing / iridium. 

Ada kalanya abang saya juga ber-experimen dengan mengganti koil untuk mendukung performa busi racing. Waktu itu baru tahu bahwa koil mobil Daihatsu Hijet bisa di pakai di motor...hehehe...

Maklum aja, jaman itu yahoo dan mbah google belum ada mas brow, jadi oprak-oprek mesin hanya berdasarkan feeling, experimen, dan tanya kiri-kanan kepada sesama pehobi motor dan / atau mekanik langganan.

Body ditrondol habis untuk mengurangi beban motor, lumayan dah. Cuma sisa lampu depan belakang biar nggak di-stop Pak Polisi.

Ya memang semua itu masih jauh dari kata "modifikasi" sih. Namun si pantat monyet masih cukup kuat di ajak ngebut di atas 100 KM/jam walaupun dengan memikul beban 150 KG (2 orang).

Walau tampang-nya cupu, performa mesin dan tarikan Honda Grand nggak malu-maluin bro jika dibandingkan dengan motor kelas 100cc/110cc keluaran hari ini. Silahkan gas-poll sepuasnya sampai seluruh body bergetar dan mesin meraung kencang di RPM atas.

Dalam kondisi standard, saat itu Honda Grand dan kakak kandungnya, Honda Prima bisa mencapai 40 KM/jam untuk Gigi 1, 70 KM/jam untuk Gigi 2, 90-100 KM/jam untuk Gigi 3, dan sisa-nya terserah anda. Ya kebetulan, temen abang punya motor Prima 1990.

Tapi hari gini, jangan coba-coba paksa Honda Grand / Prima / Supra X tua (apalagi Honda Legenda atau Supra Fit 100cc) buat berakselerasi kayak begitu ya bro! Bisa-bisa rontok tuh mesin-nya.

Ketahanan mesin Honda Grand / Prima sudah terbukti puluhan tahun. Selama dipakai wajar, tidak butuh belah mesin. Paling-paling ganti rantai keteng beserta per/pegas tensioner keteng, ganti busi dan oli mesin, bersihkan saringan udara dan karburator, sama ganti paking dan seal untuk menghindari rembesan pada mesin.

Ini salah satu alasan kenapa resale value / harga jual kembali kedua varian motor tersebut cukup tinggi, apalagi dalam kondisi mulus / gress.

Mungkin karena tidak banyak pilihan motor bebek 4-tak saat itu (hanya Honda Astrea Star / Prima / Grand), para rider motor Honda bebek sangat beragam dari kaum muda sampai tua.

Tanpa bermaksud untuk men-generalisir ya bro, umumnya bapak2 dan ibu2 males sekali untuk ganti gigi (naik/turun) untuk kondisi jalan yang berbeda. Contoh, Gigi 2 dipakai untuk start awal dan Gigi 4 dipakai untuk lari 30 KM/jam (tanjakan pula). Ya kebiasaan inilah yang menyebabkan mesin dipaksa kerja keras, akibatnya lama-kelamaan stang seher / stang piston bisa kena. 

Harga suku cadang yang murah dan ketersediannya yang sangat melimpah adalah salah satu faktor Honda Astrea Grand diminati banyak orang. Pula, mekanik mana yang nggak sanggup disuruh bongkar pasang mesin Honda Grand.

Masalah klasik Honda Grand cuma konstruksi rangka, suspensi dan pengereman yang tidak se-stabil Yamaha Alfa / Force One apalagi Kawasaki Kaze/Kaze R. Ya, 11-12 lah sama Suzuki RC 100 Bravo / Crystal; mungkin Tornado GX (tromol) sedikit lebih baik.

Para rider Grand pastinya sudah paham betul dengan kondisi ini; body serasa terbang, suspensi mengayung-ngayung, rem yang kurang mengigit, lampu depan yang remang-remang kala malam tiba, dan bunyi mesin yang mirip mesin jahit setelah di geber habis-habisan non-stop. 

Memang Honda Astrea Grand bukan kategori motor sport, akan tetapi tapak ban bawaan pabrik masih di rasa licin di jalan basah. Untuk alasan safety, ada baiknya ganti dengan tapak / kembang Honda Supra X 100cc (nggak perlu sebut merk - nanti dipikir iklan).

Masalah lain cuma rutin ganti karet tromol dan rantai penggerak yang mudah mulur dan harus sering di-stel ulang (kalau motor sering di ajak ngebut). Tapi hal ini sangat tergantung pada cara bawa motor ya bro.

Toh semua karakteristik itu tidak menyurutkan niat saya untuk test touring Honda Grand keluar kota. Kalau hampir setiap malam minggu si Grand diajak nge-trek sama kedua abang saya, hari minggu-nya saya ajak si Grand touring Jakarta-Bogor/Sukabumi/Anyer-Carita PP. Kasihan juga si Grand "di-perkosa" habis-habisan.

Ya maklumlah, ortu cuma sanggup beli satu motor buat tiga orang anak laki-laki yang kebetulan semuanya doyan naik motor. Bedanya kedua abang saya hobi nge-trek, sedangkan saya hobi touring keluar kota sendirian.

Karena keseringan berebut motor, terpaksa ortu beli motor Black Astrea 1994 untuk abang tertua saya.

Walaupun di trondol, nasib si Black Astrea jauh lebih baik daripada si pantat monyet, karena tidak "di-perkosa" habis-habisan dan saya rawat dengan telaten. Selain perawatan rutin yang sudah disebutkan di atas, ada perawatan extra lainnya.

Bagi para pecinta Honda Grand, jangan lupa lumasi bagian-bagian kecil yang sering luput dari perhatian. As roda, as swing-arm, as rem tromol di beri gemuk jika dirasa perlu. Kabel rem depan juga rutin di beri oli kental 40W (kan nggak lucu kalau tiba-tiba kabel rem depan putus karena kekeringan).

Rajin bersihkan tromol rem dari kotoran juga bisa menyelamatkan nyawa rider dari rem-blong. Selebihnya, ya rajin cuci, keringkan dan poles motor, terutama pada bagian bawah motor yang rentan terkena karat contoh: leher knalpot / kolong spakbor belakang yang merupakan satu-kesatuan dengan body/rangka.

Mungkin karena faktor kesibukan, banyak rider yang malas membersihkan bagian bawah mesin dan transmisi motor. Padahal, penyebab rembesan bisa dideteksi sejak dini dan tindakan bisa segera diambil sebelum masalah merembet.

Sayang di sayang, si Black Astrea berakhir tragis; Tahun 1996, si doi raib di gondol maling waktu parkir di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Dengan wajah muram, abang saya cuma bisa lapor kehilangan motor ke POLSEK Menteng. 

Lagi-lagi ortu marah besar, dan lagi-lagi "menghadiahkan" abang saya dengan Kawasaki Kaze generasi pertama (tromol) 1996. Hehehe...udah bikin hilang motor, masih di kasih hadiah ya!

Pasti banyak rider yang pernah punya Honda Astrea Grand / Black Astrea. Sharing pengalaman nyok!

Comments

Popular posts from this blog

Honda Megapro 2001 engkel: GL-Pro III yang tak lekang dimakan waktu

Masih teringat jelas kenikmatan touring bersama Honda GL-Pro Neotech 1997 yang hilang  digondol maling hanya 3 bulan berselang setelah motor dikirim dari dealer. Sementara motor Yamaha RX-Special 1997 hasil tebusan uang asuransi si GL-Pro sudah  mulai nggak enak ditunggani dan mesin sudah mulai kasar semenjak blok mesin di- oversize 50. Rasanya deg-degan kalau bawa si RXS touring keluar kota lagi. Pilihan motor 4-tak kopling yang pakai cakram juga tidak banyak di Tahun 2001,  paling-paling Honda GL-Max, Megapro atau Tiger. Kalau ada dana lebih sih, minatnya  beli Suzuki Thunder 250 atau Honda Phantom 4-tak (Phantom juga ngeluarin varian 2-tak  loh!) atau Suzuki FXR 150 DOHC. Ditambah pertimbangan kemungkinan kelangkaan spare parts Thunder 250, Phantom dan  Suzuki FRX, akhirnya pilihan jatuh pada Honda Megapro 2001 engkel. Uang tabungan hasil kerja 1,5 tahun ditambah uang penjualan si RXS langsung saya  belikan Honda Megapro di dealer Wahana - G...

Suka-duka naik motor Yamaha RX Special 1997

Biker sejati mana yang tidak tahu Yamaha RX-King? Sampai hari ini "Si Raja Jalanan" masih seliweran dan tidak sedikit komunitas RX-King yang eksis dan punya anggota setia. Tapi kalau biker di tanya tentang Yamaha RX-Special (RXS) atau RX-R atau YT-115 (apalagi Yamaha L2G, AS1 alias YAS1, LS3, RS100, DT100, RX-100 atau RX-125), kemungkinan jawabannya "motor apaan tuch"? Kagak pernah liat dijalanan bro! Walaupun Yamaha RX-Special lahir sebelum RX-King, mungkin tidak banyak orang yang pernah menjajal si kakak kandung RX-King karena pamor dan penjualan-nya masih jauh di bawah adiknya. Ditambah lagi, mayoritas pemilik RXS adalah kaum bapak-bapak yang nggak doyan kebut-kebutan di jalan layaknya penunggang RX-King yang suka geber-geber motor dan nge-trek di cawang-tanjung priok-kemayoran (tapi nggak semua loh!). Kebetulan waktu GL-Pro Neotech 1997 saya raib digondol maling, saya "terpaksa" membeli RX-Special 1997. Walaupun nggak sedikit rider yang bilang RX...

Yamaha RX-King 1989: Si Raja Jalanan

Namanya juga anak muda, agak minder rasanya bawa motor tua ke sekolah. Kedua abang saya juga berasa minder bawa Honda C700 keluaran 1982 ke sekolah. Walhasil, mereka minta dibelikan motor keluaran baru. Jujur saja, saya sempat iri waktu ortu saya memutuskan membelikan kedua abang saya RX-King ketika mereka beranjak SMA. Maklum, waktu itu RX-King motor paling kenceng dan paling mahal se-Indonesia (Tiger, RXZ, RGR belum pada lahir bro!). Kawasaki Binter AR125 mungkin satu-satunya motor yang bisa disejajarkan dengan RX-King. Mungkin karena bapak dulu pernah kerja di Yamaha Motor Indonesia (era 70 s/d 80-an) dan bisa dapat potongan harga special barangkali. Singkat cerita, setiap menjelang malam minggu, kedua abang saya punya ritual wajib: "service" Yamaha RX-King. Simple aja: copot saringan udara dan ganti pakai saringan K&N, bersihkan karburator sekalian ganti spuyer main jet dan pilot jet sekalian stel karburator untuk setingan balap standard, ganti paking head den...