Skip to main content

Kenangan bersama Suzuki Sprinter 1989-1990

Capek juga rasanya naik-turun metro mini B-91 dan mikrolet M-11 ke kampus.
waktu tempuh yang harusnya cuma 30 menit, ehh bisa molor jadi 1 jam gara-gara keseringan nge-tem. Padahal mah naek motor, nggak sampai 20 menit. 

Gara-gara saya ngemis-ngemis minta dibeliin motor, akhirnya ortu kasih dana 2 juta yah maklum aja, kondisi keuangan juga sedang cekak (waktu itu harga Honda Grand baru di atas 3 jutaan; harga premium masih Rp 700/liter), 

Hunting iklan baris di Pos Kota (maklum, jaman dulu belum ada OLX / Toko Bagus, lah wong yang namanya yahoo dan mbah google aja belum pada lahir bro); ketemu-lah juragan yang mau lepas Suzuki Sprinter, pasang harga 2 juta, katanya motor simpenan bro!

Bener aja, setelah di-cek kondisi fisik, tuh motor masih dalam kondisi orisinil gress. Setelah tarik-ulur, disepakatilah harga 1,9 juta, lumayan!

Pas perjalanan pulang, mulai dah hal aneh terjadi.
Kog ini motor tenaga-nya kagak ada, di-gas malah nahan.
Keringat dingin mulai ngu-cur, apa salah beli motor nih?

Busyet, pas oli mesin di-kuras, warna-ya udah putih susu.
Nih motor bener-bener simpenan min (tapi sayangnya kagak di-rawat!).

Ya karena udah terlanjur beli;
oli mesin dan busi ganti baru, kop, piston, lidah membran, dan knalpot dibersihin.
Oli mesin pakai ARAL 10W/40 dengan waktu penggantian 5.000-10.000 KM (waktu itu masih murah bro, sekitar 30 ribuan, sekarang mungkin sekitar 100 ribuan, itupun kalau ada yang jual).
Oli samping pakai AGIP low-smoke; walaupun wangi-nya nggak kayak ESSO, tapi kualitas-nya nggak diragukan lagi bro! Sayang, sekarang Oli Agip sudah hilang dipasaran.

WOW, walaupun semua serba standard (termasuk knalpot), ternyata tuh Sprinter lari-nya kayak setan!
Baru tahu ternyata untuk tembus 120 KM/jam bukan hal yang sulit untuk si Sprinter.
kalu cuman ketemu GL Max aja sih nggak minder bro.

Gara-gara saya suka keluar kota naik motor sendiri, Si Sprinter di test-drive ke Jakarta - Bogor / Sukabumi / Anyer-Carita-Labuhan PP.

Ketemu lagi kelebihan Suzuki 2-tak, mesin nggak overheat dan tenaga stabil walaupun di geber jarak jauh non-stop.
Kaget-nya lagi, konsumsi BBM-nya relatif irit.

Sebelumnya, saya tes pakai Honda Grand generasi pertama (pantat monyet).
Mesin Grand di-gas poll sampe teriak-teriak, konsumsi BBM rata2 42 KM/liter.
Pakai Suzuki Sprinter, nggak butuh gas poll sampe teriak2, cuma di-urut pelan2 sampai kecepatan max, konsumsi BBM rata2 42 KM/liter - sami mawon!

Gimana konsumsi oli samping-nya?
Dijamin irit bro! Sesuai sama kantong mahasiswa yang cekak.
Sebagai gambaran, rata2 jarak tempuh harian 100KM (dalam kota dan luar kota), satu bulan sekitar 2,500KM, Oli samping tidak habis 1 liter dalam sebulan. Apalagi kalau cara nge-gas di-urut, oli samping bisa bertahan 2 bulan.

Waktunya tes touring Jakarta-Bandung.
7 jam perjalanan hujan-hujanan non-stop (stop cuma isi bensin dan makan sekali di warkop).

Nah, baru dah ketahuan kelemahan Sprinter.
Body enteng, gampang goyang ketiup angin gunung, yang pastinya mempengaruhi kestabilan berkendara. Shock-absorber depan-belakang yang cukup mumpuni tidak terlalu banyak membantu kestabilan motor di-rute luar kota, terlebih jika motor harus "makan" lobang. 

Ban relatif kecil dan licin, jadi kudu pelan2 kalu nggak mau kepeleset.
Lampu kriyep-kriyep, habis mangrib cuma bisa ngikutin garis putih di tengah jalan.
mata pedes ngeliatin lampu mobil dari arah berlawanan.

Yang paling bahaya adalah pengereman-nya; nggak beda jauh sama Honda Astrea.
Asli nggak pakem, maklumlah standard rem tromol Suzuki Bebek masih di jauh bawah Yamaha Alfa atau Force One (waktu itu F1ZR belum seliweran di jalan).

Alhasil, kecepatan maksimum cuma bisa 60 KM/jam (kalau mau selamat sampai tujuan).

Karena rem yang nggak pakem itulah, akhirnya saya terpaksa jual Si Sprinter karena
doi sempat cium motor tukang ojek yang nyeberang sembarangan di depan RS dekat terminal pulogadung (lupa nama-nya).

Sayang juga sih di-jual; 
coba Si Sprinter dimodalin rem cakram kayak Yamaha Champ ya!

Buat yang pernah jajal Suzuki Sprinter, boleh sharing pengalaman!

Comments

Popular posts from this blog

Honda Megapro 2001 engkel: GL-Pro III yang tak lekang dimakan waktu

Masih teringat jelas kenikmatan touring bersama Honda GL-Pro Neotech 1997 yang hilang  digondol maling hanya 3 bulan berselang setelah motor dikirim dari dealer. Sementara motor Yamaha RX-Special 1997 hasil tebusan uang asuransi si GL-Pro sudah  mulai nggak enak ditunggani dan mesin sudah mulai kasar semenjak blok mesin di- oversize 50. Rasanya deg-degan kalau bawa si RXS touring keluar kota lagi. Pilihan motor 4-tak kopling yang pakai cakram juga tidak banyak di Tahun 2001,  paling-paling Honda GL-Max, Megapro atau Tiger. Kalau ada dana lebih sih, minatnya  beli Suzuki Thunder 250 atau Honda Phantom 4-tak (Phantom juga ngeluarin varian 2-tak  loh!) atau Suzuki FXR 150 DOHC. Ditambah pertimbangan kemungkinan kelangkaan spare parts Thunder 250, Phantom dan  Suzuki FRX, akhirnya pilihan jatuh pada Honda Megapro 2001 engkel. Uang tabungan hasil kerja 1,5 tahun ditambah uang penjualan si RXS langsung saya  belikan Honda Megapro di dealer Wahana - G...

Suka-duka naik motor Yamaha RX Special 1997

Biker sejati mana yang tidak tahu Yamaha RX-King? Sampai hari ini "Si Raja Jalanan" masih seliweran dan tidak sedikit komunitas RX-King yang eksis dan punya anggota setia. Tapi kalau biker di tanya tentang Yamaha RX-Special (RXS) atau RX-R atau YT-115 (apalagi Yamaha L2G, AS1 alias YAS1, LS3, RS100, DT100, RX-100 atau RX-125), kemungkinan jawabannya "motor apaan tuch"? Kagak pernah liat dijalanan bro! Walaupun Yamaha RX-Special lahir sebelum RX-King, mungkin tidak banyak orang yang pernah menjajal si kakak kandung RX-King karena pamor dan penjualan-nya masih jauh di bawah adiknya. Ditambah lagi, mayoritas pemilik RXS adalah kaum bapak-bapak yang nggak doyan kebut-kebutan di jalan layaknya penunggang RX-King yang suka geber-geber motor dan nge-trek di cawang-tanjung priok-kemayoran (tapi nggak semua loh!). Kebetulan waktu GL-Pro Neotech 1997 saya raib digondol maling, saya "terpaksa" membeli RX-Special 1997. Walaupun nggak sedikit rider yang bilang RX...

Yamaha RX-King 1989: Si Raja Jalanan

Namanya juga anak muda, agak minder rasanya bawa motor tua ke sekolah. Kedua abang saya juga berasa minder bawa Honda C700 keluaran 1982 ke sekolah. Walhasil, mereka minta dibelikan motor keluaran baru. Jujur saja, saya sempat iri waktu ortu saya memutuskan membelikan kedua abang saya RX-King ketika mereka beranjak SMA. Maklum, waktu itu RX-King motor paling kenceng dan paling mahal se-Indonesia (Tiger, RXZ, RGR belum pada lahir bro!). Kawasaki Binter AR125 mungkin satu-satunya motor yang bisa disejajarkan dengan RX-King. Mungkin karena bapak dulu pernah kerja di Yamaha Motor Indonesia (era 70 s/d 80-an) dan bisa dapat potongan harga special barangkali. Singkat cerita, setiap menjelang malam minggu, kedua abang saya punya ritual wajib: "service" Yamaha RX-King. Simple aja: copot saringan udara dan ganti pakai saringan K&N, bersihkan karburator sekalian ganti spuyer main jet dan pilot jet sekalian stel karburator untuk setingan balap standard, ganti paking head den...